Senin, 16 Juni 2014

DA Chapter 2


Digimon Adventure

Chapter - Musim Panas Itu

“Apa kau baik-baik saja?” Taichi Yagami bertanya pada adik perempuannya, Hikari, sambil mengoleskan gel pendingin di dahi adiknya itu. Gadis yang malang itu menggigil di bawah selimut karena demam.

Dengan senyum terbaik yang bisa ia tunjukkan, Hikari berkata, “Ya.”

“Syukurlah,” ucap Taichi, namun di dalam hati, ia marah terhadap dirinya sendiri. Ia sekarang sadar bahwa sejak kemarin, Hikari telah menunjukkan tanda-tanda demam, tapi karena saat itu ia belum menyadari apa arti dari tanda-tanda itu, ia mengajak Hikari untuk pergi berbelanja bersama dan membeli barang-barang yang akan mereka bawa ketika mereka mengikuti acara perkemahan yang dimulai hari ini (sekalipun yang mereka beli hanyalah permen, permen, dan permen yang sangat banyak).

Taichi Yagami
Dia sudah berpikir bahwa saat itu Hikari sedikit bertingkah aneh, tapi ia tak menduga bahwa tingkah aneh adiknya itu disebabkan oleh demam…

Semua itu pasti bermula ketika kemarin pagi mereka berdua melihat televisi bersama-sama. Pada waktu itu, ada siaran berita yang melaporkan adanya cuaca yang tak normal terjadi di seluruh dunia. Sekalipun seharusnya musim saat ini adalah musim panas, Amerika tertutup oleh salju yang lebat, sedangkan hujan deras membanjiri daerah Timur Tengah. Sebaliknya, rawa-rawa di Asia Tenggara malah kering hingga ke akar-akarnya. Peramal cuaca mengatakan bahwa itu semua terjadi karena rusaknya alam yang diakibatkan oleh manusia, namun Hikari berkata,

“Dia salah.”
“Eh?” Taichi, yang sedang mengisi mulutnya dengan roti bakar berisi telur, tomat, dan daging, menatap Hikari dengan bingung.

Pandangan Hikari tampak fokus secara penuh ke layar televisi, yang mana menurut Taichi tak ada satupun pemandangan yang aneh di dalamnya. Layaknya orang yang sedang melamun, Hikari mengucapkan satu kata yang terdengar asing, dengan suara pelan.

“Digi…mon.”
“Digimon? Apa itu?” Taichi bertanya sambil mengangkat alisnya.

Kali ini, Hikari memalingkan pandangannya dari televisi dan ganti menatap kakaknya dengan heran.

Hikari

“Kakak tak bisa melihatnya?” Hikari bertanya balik.
“Lihat apa…?” Taichi mengamati layar televisi. “Aku tak melihat apapun.”
“Oh… tidak ada apa-apa kok. Jangan dipikirin,” Hikari tersenyum, sebelum ia kembali memalingkan pandangannya ke arah televisi lagi. Ketika Taichi mengamati ekspresi wajah adiknya, bulu mata Hikari yang panjang, membuatnya terlihat sedih di mata Taichi.

Mungkin dia mulai terkena demam pada saat itu, Taichi menyadarinya sekarang. Jika ia memeriksa dahi adiknya pada waktu itu, dan membiarkannya istirahat, demamnya mungkin bisa dicegah dengan mudah dari awal. Hikari juga sangat menantikan acara perkemahan yang diadakan hari ini, sama seperti Taichi…

***

Di depan beberapa bis yang berbaris sebelum berangkat, anak-anak berkumpul ke dalam grup mereka masing-masing sambil ngobrol terus-terusan tentang anime yang mereka lihat kemarin, video game yang baru dirilis, lanjutan cerita manga mingguan, atau tentang hubungan romantic antara dua artis populer yang belakangan ini dibicarakan oleh berbagai khalayak berkat penampilan apik mereka di majalah bergambar mingguan.

Yamato Ishida

Tapi Yamato Ishida tak ikut terlibat dalam grup-grup seperti itu.

Bukan karena dia tak punya teman. Faktanya, banyak teman sekelasnya menyapanya secara akrab dengan “Yo!” atau “Hei~!” ketika mereka berpapasan dengannya, dan tentunya, Yamato akan merespon mereka dengan tersenyum.

Seorang anak laki-laki kecil yang mengenakan topi hijau dan kaos berlengan panjang, yang warnanya sana dengan T-shirt tanpa lengan yang dikenakan Yamato, berdiri tepat disamping Yamato. Sekalipun ada banyak orang yang menyapa dan berbicara dengan Yamato, tak ada satupun dari mereka yang berbicara dengan anak kecil itu, dan anak kecil itu sendiri tak pernah melambaikan tangannya untuk menyapa orang lain. Anak itu hanya diam berdiri di samping Yamato sambil melihat-lihat sekeliling, sambil tersenyum lebar.

Situasi seperti itu memang wajar, karena anak kecil itu bukanlah bagian dari sekolah ini, dan jelas, ia tak kenal dengan satupun murid disini. Dia adalah adik Yamato, Takeru Takeishi. Alasan kenapa mereka memiliki nama keluarga yang berbeda adalah karena keduanya sekarang hidup terpisah, setelah orang tua mereka bercerai. Takeru diijinkan untuk ikut berpartisipasi dalam acara perkemahan sekolah tempat Yamato belajar, setelah menerima ijin dari Fujiyama-sensei, guru yang bertugas untuk mengatur acara.

(sensei = guru)

Takeru sendiri sebenarnya tak tampak khawatir, namun Yamato diam-diam merasa cemas, ia takut adiknya tak bisa bergaul dengan anak-anak lainnya. Ia pikir akan lebih baik bila Takeru tak ikut pergi dengannya.

Semua ini dimulai di minggu pertama di bulan Juli, tepat sebelum liburan musim panas dimulai.

Karena orang tua mereka menyetujui hak kunjungan setelah perceraian mereka tuntas, Takeru datang untuk menginap di apartemen tempat Yamato (dan ayahnya) tinggal. Pada saat itu, mata Takeru yang tajam melihat tanggal 1 Agustus di kalender diberi lingkaran merah. Ketika ayah mereka memberi tahu bahwa hari itu adalah hari dimana sekolah Yamato akan mengadakan acara perkemahan, Takeru berteriak bahwa dia juga ingin mengikutinya.

Ayah mereka pasti juga merasa cemas, sama seperti yang dialami Yamato sekarang. Masalahnya juga bertambah karena itu artinya ia harus menghubungi mantan istrinya dan meyakinkannya agar menyetujui keikutsertaan Takeru dalam acara perkemahan. Tentu saja, sekalipun ia terang-terangan berkata bahwa itu adalah hal yang merepotkan, ekspresi yang tampak di wajah ayah mereka tak menunjukkan itu sama sekali.

Sehari sebelum perkemahan dimulai, yaitu kemarin, Yamato pergi ke tempat tinggal ibunya di Sangenjaya untuk menjemput Takeru.

“Kamu harus datang kesini sendirian untuk bermain lebih sering, Yamato,” ucap si ibu sedikit canggung terhadap putra pertamanya, selagi ia mengisi tas punggung Takeru dengan jajanan yang banyak, saking banyaknya sampai-sampai tas itu terlihat akan meledak.

“Ya.”

Bahkan Yamato sendiri berpikir bahwa jawaban yang ia lontarkan terdengar dingin.

“Harus lho,” jawab si ibu dengan tersenyum, sekalipun senyuman itu tampak dipaksakan. Ia sudah tahu, bahkan sebelum percakapan mereka dimulai, bahwa Yamato tak akan pernah mau berkunjung dengan kemauannya sendiri. Sadar akan kepribadian Yamato yang serius, ia tak ragu bahwa Yamato sendiri mungkin menganggap ajakan sepele itu setara dengan mengkhianati ayahnya.

Takeru Takeishi
“Oke, Mama, aku berangkat sekarang!”

Setelah selesai mengatur isi tas Takeru, si ibu mengantar Takeru hingga ke halaman masuk apartemen.

“Takeru, jangan nyusahin kakakmu terlalu banyak, ya?”

Kata-katanya terdengar seperti ia tengah menyerahkan anak semata wayangnya ke tangan orang asing. Tentu saja, tak ada niat buruk dibalik kalimat tersebut.

Tapi Yamato tak bisa menahan untuk bergumam, “Tak masalah kalau Takeru bikin aku repot. Toh kami berdua saudara.”

 -----------------------------------------------------------------

*Chapter Selanjutnya : Klik Disini
Chapter Sebelumnya : Klik Disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar