Kamis, 26 Juni 2014

DA Chapter 4


Digimon Adventure

Chapter – Hewan Misterius

Mereka sudah menunggu untuk waktu yang sangat, sangat lama, hanya untuk bertemu partner mereka.

Sudah sangat lama sejak mereka pertama kali bisa mengingat akan sesuatu. Mereka bisa mengingat banyaknya gletser yang menutupi permukaan tanah, meskipun sekarang gletser itu telah tiada untuk waktu yang lama. Mereka juga bisa mengingat kapan tumbuh-tumbuhan pertama kali muncul di tanah yang tandus, hingga tumbuh dengan lebat di lingkungan yang sekarang mereka huni.

Sekalipun tak ada yang mengajari, mereka mengerti bagaimana cara berbicara. Mereka bahkan tahu siapa nama mereka masing-masing, dan siapa yang sedang mereka tunggu. Namun, yang tak mereka ketahui adalah, untuk alasan apa mereka menunggu?

Meski begitu, mereka tetap sabar menunggu.
 


Yakin bahwa partner mereka akan muncul dari langit, hari demi hari mereka lalui dengan terus menatap langit, sambil memanggil nama tiap-tiap partner mereka.

Salah satu dari mereka berkata “Taichi!”

Ada juga yang berteriak, “Yamato!”

Dan yang lainnya juga ikut berteriak, “Sora!”, “Jyou!”, “Koushiro-han!”, “Mimi!”, “Takeru!”… …

Pada suatu hari, salah satu dari mereka yang sedang menunggu “Takeru” melihat ada aurora di langit.

“Semuanya, lihat!”

Mereka semua melihat ke atas.



Mengetahui di dalam batin bahwa waktu yang dijanjikan telah tiba, tiap-tiap dari mereka terdiam sambil menahan nafas. Beberapa dari mereka bahkan sampai meneteskan air mata, karena tak bisa menahan emosi yang meluap-luap.

Langit mengeluarkan cahaya yang sangat terang untuk sesaat, kemudian mereka mendengar teriakan yang berasal dari jauh.

“Uwaaaaaaaaaah!”

Yang muncul menemani teriakan ketakutan itu adalah tujuh anak-anak, yang bisa mereka lihat sedang berpegangan dengan satu sama lain, ketika anak-anak itu jatuh dari langit.



“TAICHI! TAICHI! TAICHI!”
“YAMATO! YAMATO! YAMATO!”

Saking gembiranya, mereka melompat-lompat tinggi sambil terus-terusan memanggil nama partner mereka, yang telah mereka tunggu sejak lahir ke dunia ini. Ketika sebuah kekuatan yang tak terlihat memisahkan dan mengirim anak-anak itu ke tujuh arah yang berbeda, tiap-tiap dari mereka dengan segera berpecar untuk menjemput partner mereka masing-masing.

***

Dengan bunyi ‘Gedebuk’, Yamato mendarat di atas tanah.

“Ow!” ia berteriak secara reflek, tapi ternyata, ia tak terlalu merasa kesakitan. Merasa bingung karena tak mendapati rasa sakit seperti yang ia perkirakan sebelumnya, Yamato menatap langit yang ada di atasnya.

Dia yakin bahwa dirinya baru saja jatuh dari atas sana, di dekat stratosfir. Apa dia berhalusinasi? Ketika tubuhnya berputar-putar di udara saat terjatuh, ia pikir ia melihat sesuatu yang tampak seperti pulau di bawah…

“Ini aneh.” Gumam Yamato, kepalanya masih mendongak ke atas ketika ia berdiri.

Setelah sekilas mengamati area yang ada di sekelilingnya, ia paham dirinya sedang berada di dalam hutan. Untuk sesaat ia berpikir bahwa dirinya saat ini sedang berada di suatu tempat di dekat area perkemahan, namun kelembaban udara yang ia rasakan dengan cepat mengubah pikirannya. Kalau memang tempat ini ada di sekitar area perkemahan, seharusnya cuacanya terasa lebih dingin…

Bagaimanapun, masih ada urusan yang lebih penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

“Hey, Takeru!” Yamato memanggil nama adiknya. Ketika ia tak mendapat respon, ia mencoba untuk memanggil lagi.

“Takeru?”

Sambil berputar ke segala arah, ia memanggil nama yang sama lagi dan lagi. Tapi suara Takeru tak bisa didengar sedikitpun.

Yamato bisa merasakan tubuhnya menjadi sangat lemas. Kalau ada sesuatu yang buruk menimpa Takeru, apa yang harus aku…?

“Takeru! Takeru!!”

Dengan penuh kebingungan, Yamato terus meneriakkan nama adiknya lagi dan lagi. Wajah sang ibu ketika ia harus berpisah dengan Takeru muncul dalam pikiran Yamato.

“Takeru! Dimana kau, Takeru?!”

Kedua mata Yamato terasa mendidih, dan tampak berkaca-kaca. Dadanya pun terasa sangat sesak, disebabkan oleh kekhawatiran akan adiknya yang hilang. Jika ia tak bisa menemukan Takeru…

Pada saat itu ia mendengar suara seperti orang yang malu-malu berkata, “Yama… to?”

“Siapa disana?” Terkejut, ia membalas suara itu sambil menghentikan langkahnya.



Sekalipun ia tak bisa melihat seorangpun di sekitar, ada sebuah boneka bundar berwarna kemerah-merahan dengan sebuah tanduk di kepalanya jatuh tepat di samping dirinya. Yamato tak yakin bagaimana caranya, tapi boneka itu mengedipkan matanya, dan –

“Kau Yamato… iya kan?”

- mulut boneka itu bergerak mengikuti suara yang muncul, layaknya makhluk hidup sungguhan.

“Eh…?”

Yamato tak mengerti sedikitpun apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi ia masih cukup waras untuk tak tertipu oleh sebuah boneka yang bisa berbicara.

Mengamati daerah sekeliling, Yamato berkata, “Siapa kau? Keluarlah!”

Dan saat itulah, layaknya ingin mempertegas kehadirannya, boneka bundar itu melompat-lompat.

“Itu aku, Yamato! Tsunomon! Aku sudah menunggumu untuk waktu yang sangat lama!”

Mulut Yamato menganga. Dan terus begitu untuk beberapa saat.

Tsunomon berkata. “Kau mencari Takeru, kan? Aku akan membawamu padanya! Aku yakin Tokomon sudah menemukan Takeru sekarang.”

***

Tubuh Sora menjadi sangat kaku. Layaknya melihat hewan aneh berwarna pink dengan hiasan bunga berwarna biru di kepalanya belum cukup untuk membuat Sora merasa takut, hewan itu bahkan juga bisa berbicara.


“… … …”

Sora berpikir untuk berteriak minta tolong, tapi akan bahaya jadinya bila teriakannya akan membuat makhluk yang ada di depannya itu menyerang dirinya.

Hewan itu berbicara sekali lagi. “Aku sudah sangat lama, lama, lama sekali menunggumu, Sora!” ucapnya dengan gembira. Kata-kata yang ia keluarkan juga sangat jelas dan bisa dipahami. “Aku sangat bersyukur, akhirnya aku bisa bertemu denganmu!”

Makhluk itu menggoyang-goyangkan banyak tonjolan yang ada di bawah kepalanya (Sora tak mengerti apakah benjolan itu kaki atau tentakel) untuk mendekati Sora, dan Sora pun segera mundur satu langkah.

“J-jangan dekati aku!” teriak Sora dengan histeris, dengan suara yang sangat berbeda dari suara yang biasa ia keluarkan.

Mendengar kata-kata itu, bunga di kepala hewan itu menjadi layu, dan hewan itu pun berkata dengan sedih, “Sora… apa kau membenciku?”

“B-bukannya aku membencimu, t-tapi,” Sora tergagap-gagap dengan penuh ketakutan sambil tetap menjaga jaraknya, “Sebenarnya kamu itu apa?!”
“Aku Pyocomon. Kan aku tadi sudah bilang.”
“Bukan, yang aku maksud, Pyocomon itu apa?!”
“Pyocomon itu Pyocomon,” hewan itu menjawab dengan lugu, “Sama seperti Sora adalah Sora.”

Menatap Sora dengan mata menengadah, hewan itu seperti bayi yang lapar akan kasih sayang dari orang tuanya. Hal itu membuat Sora merasa tak nyaman. Sekalipun ia ingin menolaknya dengan keras, tatapan hewan itu, mampu memancing naluri keibuan yang selama ini tak pernah ditunjukkan oleh Sora.

Setelah menggigit bibirnya beberapa saat karena kegelisahan yang ia rasakan, Sora kemudian menarik nafas dalam-dalam.

“Oke, baiklah,” ucapnya pasrah. Kasih sayang yang bisa Sora rasakan terpancar dari kedua mata Pyocomon yang berwarna biru cerah itu menghilangkan kekhawatiran yang ada di dalam hatinya. “Paling tidak… satu hal disini yang aku tahu secara pasti, namamu adalah Pyocomon.”

***

Sambil mengusap-usap sebuah daun dengan jari-jarinya, Koushiro lagi-lagi bergumam “Misterius sekali.”

“Ini bukan daun asli… rasanya sama seperti rumput plastik berwarna hijau yang ada di kotak bento*, yang biasanya di jual di toko-toko,”  ia mengamati hal-hal yang ada di sekelilingnya. “Namun, aku cukup terkesan melihat sesuatu yang mutakhir seperti ini.”

(*kotak makan yang ada banyak di jepang)

Koushiro sedang berada di sebuah hutan yang cukup luas. Ranting-ranting dari semua pohon yang ada di hutan ini ditempeli banyak dedaunan, dan sekalipun itu bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan, pasti butuh usaha besar untuk mereplika semua hal yang ada, dan membuat hutan ini tampak begitu nyata. Bahkan orang-orang yang bukan ahlinya pun bakal setuju dengan Koushiro, bahwa akan jauh lebih murah untuk menanam pohon sungguhan, ketimbang memasang replika sebanyak ini.

Dan bukan hanya dedaunan yang di replika. Kerikil-kerikil di tanah tampak seperti gula batu berwarna abu-abu, dan bahkan tanah yang keras di bawah kakinya terlihat seperti terbuat dari karamel berwarna gelap.

“Jadi, biar aku bertanya lagi…” ucap Koushiro kepada sebuah makhluk (yang sepertinya di buat dengan rumit) yang ada di sampingnya. Makhluk itu tak pernah sekalipun berhenti mengikuti Koushiro sejak mereka bertemu. “Kau bilang tempat ini bernama File Island?”


“Itu benar.” Makhluk yang menyebut dirinya Motimon itu (yang bagian dalam tubuhnya kemungkinan besar terbuat dari pemancar yang sangat canggih) menegapkan dadanya dan menjawab dengan bangga.

“Menurutku, taman hiburan ini benar-benar dibuat dengan sangat bagus.”
“Um… Koushiro-han? Apa itu taman hiburan?”
“Kau tak tahu?”
“Nggak.”

Mungkin tanggal pembukaan taman hiburan ini masih jauh, pikir Koushiro, dan orang yang berbicara melalui mesin ini (yang cara bicaranya jelas seperti orang yang berasal dari daerah Kansai*) berlagak bodoh.

(*logat bicaranya kental dengan nuansa daerah, klo pernah liat animenya pasti ngerti kyk gimana)

Itulah kenapa Koushiro bisa berkata, “Hmm, lupakan saja,” dengan senyum ramah.

“Omong-omong, Koushiro-han. Semuanya sudah menunggu, jadi ayo kita segera kembali berkumpul dengan mereka.”

Ketika ia menyentuh tubuh Motimon yang bulat, rasanya seperti menyentuh karet. Mungkin tubuh Motimon terbuat dari karet busa yang biasa digunakan dalam film-film buatan Hollywood. Sekalipun hal seperti itu butuh biaya yang tak sedikit, namun bagi orang-orang ini, yang mampu membuat replika hutan yang sangat luas, pasti bukanlah masalah besar.

“Oke, aku mengerti. Bisakah kau menuntunku kesana?”
“Oke!”

Makhluk itu tampak senang ketika berjalan dengan cara menyeret tubuhnya. Koushiro menganggap di bawah tubuh Motimon pasti ada roda yang tersembunyi.

***

Seumur hidupnya, Jyou bisa dengan jujur bersumpah bahwa ia tak pernah menghadapi situasi yang sangat aneh dan tak bisa dijelaskan seperti ini sebelumnya.


Seekor hewan aneh yang kelihatannya seperti hasil percobaan gagal antara anjing laut dan kuda laut sedang mengejarnya. Dengan suara jail, hewan itu meneriakkan, “Jyooou!” sembari melayang di udara.

“Tunggu aku, Jyooou!”

Jyou meyakinkan dirinya sendiri bahwa “Jyooou” adalah sejenis teriakan hewan yang mirip dengan “Gyaooo” atau “Uwooo,” namun bagian “Tunggu aku” sudah pasti adalah bahasa Jepang. Mungkin struktur dari pita suara hewan itu mirip dengan burung jalak atau beo. Tapi meski begitu, bukannya cara bicara hewan ini sedikit terlalu lancar?!

Yang mana membawanya pada satu kesimpulan —— Seekor monster?

Saat ia memikirkan itu, Jyou berteriak, “Ini tak mungkin! Ini tak nyataaaa!!!”

Jadi, apa itu artinya ia sedang bermimpi?


Tapi ketika mereka bertemu, hewan itu langsung mengusap pipi Jyou dengan sesuatu yang sangat mirip dengan sebuah sirip. Faktanya, itu memang sirip. Sirip yang terasa licin, dan bau ikan segar yang keluar dari nafas hewan itu, memberitahu Jyou bahwa, sudah pasti dan positif, dia tidak sedang bermimpi. Sekalipun memang sulit untuk dipercaya, apa yang sedang terjadi sekarang adalah nyata.

“Kenapa kau lari?” teriak entah-apa-itu-namanya yang sedang mengejar Jyou dari belakang. Keberadaan hewan itu menghancurkan akal sehat yang di rawat Jyou dengan sangat hati-hati, selama sebelas tahun hidupnya. Jyou hanya bisa lari pontang panting.

Yang pasti, ini adalah pertama kalinya bagi Jyou untuk menggunakan seluruh tenaga yang ia miliki untuk lari seperti ini. Jantungnya yang berdebar keras terasa seperti mau meledak. Jyou sendiri merasa jantungnya akan benar-benar meledak bila ia terus lari seperti ini.

Tunggu dulu, sekarang bukan waktunya untuk berpikir hal yang aneh-aneh.

Jyou berteriak. “Tolong, aku mohon!!! Pergilah!!! Tinggalkan aku sendiri!!!”

Suara yang ia keluarkan terdengar sangat serak, dan sangat tak enak bila di dengar.

***

“Takeru!”

Dengan Tsunomon yang menunjukkan jalan di antara pepohonan, Yamato berhasil menemukan Takeru.

“Ah, kakak!”

Takeru berlari ke arah kakaknya dengan senang. Yamato mengamati wajah Takeru, barangkali ada tanda-tanda bahwa ia habis menangis, tapi ternyata tak ada bekas air mata sedikitpun. Yamato sebelumnya sangat yakin bahwa Takeru akan menangis non-stop bila ia tak berada di dekat adiknya itu.



Di tangannya, Takeru memegang sebuah… celengan? Bukan, katoributa* ? – sebuah benda dengan bentuk yang gemuk dan lucu. Menyadari arah pandangan Yamato, Takeru menjawab, “Ah, kenalin kak, ini Tokomon,” dan menyodorkan celengan itu ke hadapan Yamato.

(*barang jepang, cek gugel)

“Halo, Yamato!” celengan itu mengeluarkan suara.

Ternyata itu bukan celengan. Sama seperti Tsunomon yang telah membawanya kemari, Tokomon adalah makhluk hidup yang juga bisa berbicara.

“Tokomon bilang kalau dia telah menunggu kita untuk waktu yang sangat, sangat lama,” Takeru menjelaskan kepada Yamato. Kemudian ia berbalik menghadap Tokomon dan berkata, “Iya kan?”

Tersenyum lebar, Tokomon menjawab dengan penuh semangat. “Ya!”

Adik kecilnya yang satu ini ternyata sudah bisa menerima kehadiran makhluk-makhluk yang aneh itu. Yamato hanya bisa merasa bingung dan kagum melihat kemampuan Takeru untuk beradaptasi di lingkungan yang baru. Mungkin karena Takeru masih kecil, kepercayaannya terhadap Sinterklas dan Peri Gigi masih belum menghilang. Rupanya realita perceraian orang tua mereka tak sanggup meracuni jiwa Takeru yang polos, dan Yamato merasa senang adiknya masih memiliki kepolosan seperti itu.

“Tokomon bilang ada lagi teman-temannya di sekitar sini,” ucap Takeru dengan semangat, “Ada Koromon, dan Tanemon, dan Pukamon, dan Pyocomon, dan Motimon, dan siapa lagi… … … oh iya, Tsunomon!”

“Tsunomon… itu aku,” ucap Tsunomon, dengan pipi yang memerah.

“Oh, senang bertemu denganmu!” Takeru menyapanya dengan sedikit membungkuk. “Aku Takeru Takaishi.”

Setelah bertukar sapa, Tsunomon berteriak, “Ayo, kita pergi ke tempat yang lainnya!” dan kemudian pergi dengan melompat cepat. Takeru berlari mengikutinya, sambil tetap membawa Tokomon dengan kedua tangannya.

Dan Yamato hanya bisa terdiam, tak bisa memahami situasi yang sedang terjadi.

Satu-satunya jawaban yang bisa ia terima, dan cukup wajar baginya, ialah sekarang ia sedang bermimpi. Dia pasti sedang bermimpi bahwa ia bersama Takeru tengah berpetualang di dunia fantasi ini agar ia bisa sesaat melupakan masalah yang ada di kehidupan nyata. Kalau memang begitu ceritanya, maka bukan ide buruk untuk mengikuti jalannya mimpi ini untuk sementara waktu.

Senyuman muncul di bibir Yamato, kemudian ia lari mengejar Takeru.

***

Ketika Taichi mendarat, ia pingsan sambil tetap menggenggam erat sebuah benda kecil yang muncul dari dalam aurora. Sekarang benda itu terus menerus mengeluarkan cahaya terang yang berkedip-kedip.

“M-Mmm…”



Taichi akhirnya membuka matanya, namun yang membuatnya sadar bukanlah cahaya yang muncul dari alat yang benda yang ia genggam. Tepat di hadapan mukanya tampak sesuatu berwarna pink yang kelihatan seperti bola rugby. Seseorang telah menggambar dua mata merah yang besar di bola itu, dan entah bagaimana caranya, kedua mata itu bisa berkedip selagi menatap Taichi. Di bagian bawah bola rugby itu tampak sobekan lebar yang menunjukkan sebuah mulut yang memiliki taring-taring kecil dan tajam, dan mengeluarkan suara,

(*bola rugby, kyk bola American football, di eyeshield 21)

“Taichi! Taichi!”

- bola rugby itu bicara.

Tubuh Taichi segera menjadi kaku.

“H-Hya!? A-Apa-apaan?!”

Makhluk itu mengerutkan matanya yang bulat, kemudian menunjukkan senyuman lebar yang dipenuhi oleh gigi-gigi mungil yang tajam, seperti membentuk ekspresi ^u^ , dengan senang berkata, “Taichi, kau sudah sadar! Syukurlah!”

Dan kemudian makhluk itu mencoba untuk melompat tepat ke arah wajah Taichi. Terkejut, Taichi meletakkan kedua tangannya di depan tubuhnya untuk menghentikan makhluk itu, kemudian ia segera berdiri.



“K-kau bisa bicara?! Bagaimana kau bisa tahu namaku?! Kau itu apa?!” Rasa bingung bergejolak di dalam pikiran Taichi, dan sebagai hasilnya, ia hanya bisa mengeluarkan pertanyaan beruntun.

Bola rugby berwarna pink itu memperkenalkan dirinya. “Aku Koromon!”

“Koromon… tunggu sebentar, jadi kau adalah Koromon karena bentukmu bulat dan kecil*?” tanya Taichi.

(*Korokoro,  asal mula nama Koromon. Efek suara di jepang untuk sesuatu yang kecil, bulat, dan menggelinding)

“Um…”

Koromon sendiri tak tahu darimana namanya berasal, jadi dengan senang ia menjawab, “Aku tak terlalu mengerti… pokoknya, aku sudah sangat lama menunggumu Taichi!”

Kemudian ia melompat ke arah Taichi lagi.

Namun Taichi mengayunkan tubuhnya untuk menghindari Koromon. “Apa yang kau maksud dengan kau telah menungguku?!”

Saat itu, rerumputan tinggi yang ada di dekat Taichi bergemerisik, dan adik kelas yang dikenal Taichi melalui klub mereka di sekolah, Koushiro, muncul dari dalamnya.

“Koushiro!” teriak Taichi dengan lega.

Namun setelah melihat hewan dengan tubuh lunak berwarna pink yang berjalan di samping kaki Koushiro, Taichi berteriak, “A-ada makhluk seperti itu lagi! Apa sebenarnya makhluk-makhluk aneh ini?!”



“Dia bilang dia adalah Digimon,” jawab Koushiro sambil mengangkat kedua bahunya, tanda bahwa ia sendiri juga merasa bingung. “Kelihatannya tempat ini bernama File Island. Apa kau pernah mendengarnya sebelum ini?”

“File… Island?” Taichi tak pernah mendengar itu sebelumnya. “Tunggu dulu, jadi ini adalah sebuah pulau?”

“Aku pikir begitu.”

“Hmmm…”

Sambil menopang dagunya dengan satu tangan, Taichi berpikir, kemudian ia mendekati sebuah pohon yang kelihatannya kuat dan memanjatnya dengan mudah, layaknya seekor kera. Setelah sampai di atas ranting yang letaknya cukup tinggi, ia mengeluarkan teleskop kecil yang berada di dalam kantung celana pendeknya untuk mengamati daerah sekeliling.



“Mari kita lihat…”

Di hadapannya, ia bisa melihat hutan yang panjangnya hingga berkilo-kilometer. Apa yang ada di seberang hutan tak bisa ia lihat dengan jelas. Di sebelah kiri tampak gunung terjal yang berwarna putih, yang saking tingginya, sampai-sampai puncaknya diselimuti oleh awan-awan yang tebal. Di sebelah kanan terbentang lautan berwarna biru cerah, yang keindahannya bisa disetarakan dengan laut-laut yang biasa dipakai foto oleh para model di sampul majalah.

“Kalau ada laut di sana, berarti tempat ini memang sebuah pulau…”

Berpikiran bahwa ia harus menanyai Koushiro tentang opini yang ia miliki, Taichi kembali memasukkan teleskop kecilnya ke dalam saku celana dan melompat turun dari pohon.

Tanpa basa-basi ia berkata. “Aku lihat ada laut, tapi bisa jadi itu adalah danau.”

“Tak peduli itu laut atau danau,” ucap Koushiro. “Itu berarti kita tak sedang berada di Lembah Mikami.”

“Tapi masih ada Gunung Fuji kan? Lihat gunung di sebelah sana?” ucap Taichi, sambil menunjuk ke arah puncak gunung bergerigi yang berada di sebelah kirinya.

“Menurutku itu bukan Gunung Fuji,” balas Koushiro sambil mendesah.

Di sebelahnya, Motimon dengan suara yang penuh percaya diri berkata, “Gunung itu disebut Infinity Mountain.”

“Infinity Mountain?”

“Itu benar.”

Taichi dan Koushiro menatap satu sama lain dengan ragu. Keduanya tak pernah mendengar nama itu sebelumnya.

Ketika mereka sibuk memikirkan situasi yang sedang terjadi, tak lama anak-anak yang lain mulai muncul dan berkumpul di sekitar mereka. Tiap-tiap dari mereka ditemani oleh partner Digimon yang memiliki bermacam-macam bentuk.

Sora dan Pyocomon.

Yamato dan Tsunomon.

Takeru dan Tokomon.

Dan, dengan teriakan pekik yang menunjukkan kehadirannya,

“GYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!”

Jyou muncul.

Ketika ia mengenali wajah-wajah familiar yang sebelumnya ia temui di dalam kuil, Jyou menghela nafas lega. Sayangnya, kelegaan itu langsung menghilang ketika pandangan matanya mampir ke arah para monster yang ada di samping kaki anak-anak lain.



Wajah Jyou yang sudah pucat menjadi kaku dan semakin pucat, sembari ia meratap, “… M-m-monsternya tambah banyak.”

Merasa kehilangan seluruh tenaga yang ia miliki, Jyou terjatuh ke tanah. Inilah yang menyebabkan monster mutasi-anjing laut-kuda laut yang mengejarnya berhasil menyusul Jyou.

Sambil menempel ke punggung Jyou dengan gembira, dengan nafasnya yang bau ikan, monster itu berkata, “Aku Pukamon! Salam kenal!”



Jyou menatap balik Pukamon dengan bengong, rasanya seperti ia sedang melihat dunia yang ia huni hancur tepat di hadapan matanya.

Setelah melihat sekeliling, Yamato bertanya, “Apa semua sudah berkumpul? Seingatku ada satu orang lagi yang ikut bersama kita di kuil.”

“Oh!” Jyou tersentak ketika ia menyadari sesuatu. “Mimi-kun! Mimi Tachikawa-kun tak ada disini!”

***

Tanemon kesulitan menjawab pertanyaan Mimi.

“Darimana aku datang?” gumamnya, sambil memiringkan kepalanya yang bulat. “Tapi dari dulu aku selalu disini…”

Mimi tak percaya sedikitpun.

“Itu tak mungkin benar! Aku tahu apa kau itu sebenarnya!” ia bersikeras. “Jadi… dari planet mana kamu datang? Ayolah, beritahu aku!”

Mimi tak pernah percaya tentang UFO. Subyek itu hampir tak pernah muncul dalam topik diskusi antara teman maupun keluarganya. Namun ketika makhluk aneh ini tiba-tiba muncul di hadapannya, dan ia menyadari bahwa ia tidak sedang bermimpi, bagaimana lagi dia bisa menjelaskan fenomena ini? Makhluk berdaun ini pasti adalah alien yang datang dari luar angkasa.

Maksudku, coba pikir, Mimi beralasan di dalam pikirannya. Alam semesta itu tempat yang sangat luas. Alien ini mungkin tak datang dari planet yang ada di sistem tata surya kita, tapi masuk akal juga kalau ternyata ada banyak E.T. yang hidup di sekitar nebula yang ada di Awan Magelan.

“Aku selalu disini, untuk menunggumu, Mimi…” ucap Tanemon kepada Mimi, layaknya ingin menarik perhatian. Alien itu menggerak-gerakkan anggota tubuhnya dengan gelisah (atau paling tidak, itu yang dipikirkan Mimi) sambil menatap Mimi dengan tampang penyesalan.

Apa artinya itu?

Alis Mimi yang tipis berkerut saat ia berpikir. Apa mungkin ini bukan Bumi? Mungkin gelombang air yang muncul di hadapan kuil itu sebenarnya adalah sebuah UFO? Mungkinkah para alien memindahkan dirinya ke planet yang sangat mirip dengan Bumi, namun letaknya milyaran tahun cahaya dari Bumi, dimana ia harus menghabiskan seluruh sisa hidupnya disana?!

“Aku tak mau itu!” teriak Mimi dengan suara nyaring. “Kalau itu benar, bawa aku pulang! Bawa aku pulang ke tempat Papa dan Mama sekarang juga!”



Mimi sebenarnya adalah gadis yang baik dan sopan. Cuma kadang-kadang, dia bakal bertindak menuruti logika yang ia ciptakan di dalam pikirannya, tanpa mempedulikan apapun yang sebenarnya di ucapkan oleh lawan bicaranya ketika sedang bercakap-cakap. Hal itu sering membuat banyak orang – bahkan teman-temannya juga – yang tadinya sedang ngobrol dengan Mimi menjadi sangat, sangat bingung, dan tak tahu bagaimana cara yang tepat untuk melanjutkan percakapan mereka.

Dengan kata lain, Mimi bisa seketika marah, menangis, atau tertawa, tanpa memandang topik apa yang sebenarnya mereka bicarakan sebelumnya, dan orang yang menjadi lawan bicara Mimi pasti akan kebingungan dan tak mengerti apa yang harus dilakukan untuk menenangkan Mimi.

Hal seperti itulah yang saat ini sedang terjadi.

Di mata Tanemon, Mimi menjadi kacau ketika ia menyebut bahwa ia telah menunggu Mimi, dan sekarang ia berpikir bahwa kata-kata itulah yang membuat Mimi marah. Pemikiran itu membuatnya sedih, karena Tanemon, lebih dari yang lain, ingin mendapat pengakuan dan apresiasi dari Mimi.

Tanemon juga bukan tipe makhluk yang terlalu mendalami pemikiran logika. Ketika Mimi berteriak, Tanemon tak begitu mengerti kenapa, tapi ia merasa sangat sedih. Untuk mengekspresikan perasaan itu, Tanemon menangis.

“Sekalipun kau memintaku untuk melakukan itu, aku…” ucap Tanemon tersedu-sedu.

Heran melihat alien itu yang tiba-tiba menangis, Mimi langsung terdiam. Mungkin alien dari Planet Tanemon sebenarnya sangatlah baik, dan mereka hanya ingin berteman dengan penduduk bumi. Sekalipun ia terpilih secara acak sebagai perwakilan dari Bumi, untuk menyikapi penawaran mereka seperti ini adalah sebuah kesalahan. Konyol jadinya kalau kesalahan kecil ini akan menyebabkan Bumi dan Planet Tanemon berperang dengan satu sama lain, tapi Mimi tetap berpikiran bahwa membangun pertemanan dengan alien itu adalah sesuatu yang dibutuhkan.

“Oh, jangan menangis. Tolong jangan menangis,” dengan lemah lembut, Mimi meminta maaf kepada Tanemon, layaknya ia sedang menenangkan anak kecil. “Aku minta maaf. Aku yang salah. Kau benar, aku yakin kita berdua bisa jadi teman. Jadi, ayolah, keringkan air matamu.”

Menunjukkan senyum cantiknya yang khas, yang sudah banyak menarik hati dari para murid laki-laki di sekolah, Mimi menjulurkan tangannya ke arah Tanemon untuk berjabat tangan. Dengan pose seperti ini, tak aneh rasanya bila di pundak Mimi tertempel lencana dengan kalimat “Duta Besar Perdamaian Internasional.”

“… … … Oke.”

Tanemon berhenti menangis, tapi ia bingung tentang bagaimana ia harus merespon tangan Mimi yang dijulurkan ke arahnya. Meski tak yakin, ia menjulurkan satu daun yang ada di atas kepalanya dan menyentuh tangan Mimi dengan malu-malu.

Dan peringatan pertemuan pertama antara Bumi dan Planet Tanemon telah sukses! Pikir Mimi sambil menghela nafas lega, ketika tiba-tiba – suara “vrrrrmmmm” yang keras terdengar di atas kepala mereka.

Itu pasti sebuah UFO, pikir Mimi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar